BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Sabtu, 24 April 2010

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM BAGI PETANI INDONESIA

Untuk tahun 2003, para petani di Indramayu, Jawa Barat, punya catatan kelam. Ribuan hektar lahan terserang puso, gagal panen. Kala itu mereka menanam padi jenis talimas, salah satu varietas padi yang butuh waktu panjang dan perlu banyak air.
Waryono, Didi Casmadi dan petani lain Kecamatan Kadang Haur, Indramayu, waktu itu salah meramalkan iklim. Musim hujan yang mereka duga panjang, justru malah berlangsung pendek. Akibatnya, sawah hanya menghasilkan bulir-bulir gabah kosong, karena kurang air. Para petani pun rugi rata-rata Rp. 1,5 juta dari 700 meter persegi sawah mereka. Sedangkan gabah Wahyono jadi gabuk karena angin bugang.
Menanam varietas Talimas itu gagal panen di sini karena gabuk selap. Kena angin bugang. Kalau dihitung rata-rata kerugian petani untuk satu hektar mencapai satu juta lebih.
Bencana yang dialami petani Indramayu, oleh pemerintah daerah dianggap dampak meningkatnya suhu bumi, alias pemanasan global. Meningkatnya suhu bumi membuat iklim terus berubah, jadi sulit diraba. Asap Fahmi, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu Jawa Barat.
Kalau pasang air laut ke atas. Hujan tinggi banjir. Kalau kekeringan jelas kita daerah hulu sehingga tidak punya sumber air sendiri. Sehingga air dari Garut dan Sumedang. Tentunya kalau dilihat secara global ada kaitannya dengan perubahan iklim. Sering terjadi keterlambatan tanam. Ini pertanda telah terasa dampak pemanasan global.
Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian juga dibenarkan pakar iklim pertanian Institut Pertanian Bogor IPB Rizaldo Boer. Perubahan iklim, kata dia, merupakan stabilisasi pemanasan global yang memicu anomali iklim. Sederhananya, iklim menyimpang dari biasanya. Penyimpangan iklim ini terus meningkat, baik seringnya, gawatnya, mau pun lamanya.
Menurut Gatot Irianto, Direktur Pengelolaan Air pada Departemen Pertanian, dampak perubahan iklim terhadap pertanian sebenarnya tidak langsung. Biasanya diawali dengan musim yang kacau serta munculnya bencana banjir dan kekeringan.
Hasil studi kita dalam intensitas anomali kuat. Maka kehilangan masa tanam bisa mencapai lima dasarian. Itu terjadi musim kemarau maju lebih cepat tiga puluh hari dan musim hujan mundur 20 hari. Ini di Subang yang merupakan sentra produksi pangan. Tapi kalau anomalinya sedang ini mundurnya cuma 20 hari. Bandingkan kalau tidak mengalami anomali, masa tanamnya ada tambahan 50 hari atau setengah siklus dari tanaman padi.
Iklim yang sulit diperhitungkan menyebabkan petani sulit menyusun kalender tanam. Jadi kalau musim kemarau, lahan pertanian kekeringan. Sedang kalau musim hujan, kata Asap, yang dialami cuma banjir. Petani jelas rugi.
Pakar Iklim Pertanian IPB, Rizaldi Boer mengatakan, kerugian sulit diperkirakan lantaran petani dan pemerintah daerah tidak paham pentingnya informasi iklim. Selain sulit dimengerti, informasi iklim masih bersifat umum dan tidak cepat tersedia, sehingga petani sulit memperhitungkan berbagai persoalan iklim.
Bahkan di sejumlah daerah, kata Rizaldi, masyarakat bergantung pada perhitungan iklim para orang tua yang dianggap mumpuni dalam urusan ilmu kebatinan.
Masalah lain, bahasa iklim Badan Meteorologi dan Geofisika BMG sulit dipahami, baik pemerintah, apalagi petani. Mestinya, lembaga informasi seperti BMG, LAPAN dan pemda bisa menyederhanakan berita iklim untuk petani.
Untuk mengatasinya, di Indramayu digelar sekolah lapangan iklim. Tujuannya agar petani paham informasi iklim, sehingga bisa memanfaatkannya untuk kelangsungan hidup mereka. Di sekolah itu mereka membahas jenis padi yang akan mereka tanam pada musim tanam kali ini. Varietas mesti disesuaikan dengan kondisi lahan yang kini kering dan tampak retak-retak. Selama November, hujan baru turun tiga kali.
Dua petani menganjurkan menanam gogo rancak, salah satu jenis padi tahan kering. Sedang petani lain bersikeras menanam jenis padi cigeulis dan ciherang. Alasannya sederhana, ciherang dan cigeulis adalah padi usia pendek, jadi cepat panen. Selain itu, mereka sangat yakin menanam padi jenis itu akan berhasil karena diperhitungkan curah hujan akan melimpah menjelang Desember.
Sebelumnya mereka jarang membahas pemilihan jenis padi dan informasi iklim. Dulu sekali, pada 2003, mereka masih mengandalkan bercocok tanam tradisional. Bergantung pada musim, dan memilih jenis padi tanpa peduli informasi iklim. Tapi sekarang, sejak kerugian panen 2003, mereka ikut sekolah lapangan iklim yang diselenggarakan Dinas Pertanian dan IPB. Di sini mereka belajar bagaimana memanfaatkan informasi iklim.
Sekolah Lapangan Iklim berawal dari program mengurangi resiko panen gagal. Dinas Pertanian membuka sekolah ini di beberapa kecamatan, seperti Losarang dan Kandang Haur. Biasanya, sekolah ini digelar 10 hari sekali, dikenal dengan istilah dasarian (10 data harian). Sekolah ini digagas bersama dengan Institut Pertanian Bogor serta Badan Meteorologi dan Geofisika.
Bahan iklim yang diajarkan sederhana saja. Para petani diajari cara mengenal curah hujan, kecepatan dan arah angin, kelembaban, juga suhu udara. Itu semua tak hanya dipelajari, tapi juga dipraktekkan dengan sederhana. Di tempat berkumpulnya petani Karang Mulya pun disediakan alat pengukur curah hujan, juga termometer basah dan kering untuk mengukur kelembaban udara.
Katanya, kalau rata-rata kelembaban di atas 80 persen, bisa dipastikan Desa Karang Mulya akan terguyur hujan dalam tiga hari. Hujan juga bisa diperkirakan dengan membaca arah angin. Biasanya, kalau angin datang dari utara, peluang hujan tidak akan jauh.
Hasil pengukuran itu lalu dicocokan dengan data BMG yang sudah disederhanakan. Sesudah itu para petani bisa cepat menetapkan kalender tanam. Dari kalender tanam, kata Didi, para petani menetapkan jenis tanaman.
Kepada kelompok tani Karang Mulya, Sri Mulya dari Dinas Pertanian Indramayu juga mengajarkan pengaruh iklim terhadap hama perusak tanaman. Misalnya hama ganjur menyerang jika curah hujan tinggi. Kalau wereng, kata Sri Mulya, cepat berkembang biak ketika kelembaban udara di atas 80 persen. Sedang hama kresek hampir sama dengan wereng batang coklat. Tapi biasanya kresek cepat berkembang biak jika kecepatan angin mencapai lima kilometer per jam.
Prakiraan iklim para petani memang belum tentu benar. Tapi setelah belajar iklim, Didi dan kawan kawan tidak pernah memaksakan diri menanam padi kedua jika curah hujan diramalkan kecil. Paling banter mereka menanam sayur-sayuran atau buah-buahan, seperti pare, semangka, melon dan ketimun. Dengan begitu, mereka bisa berjaga-jaga menghadapi kerugian kalau panen sampai gagal.
Luasan yang terkena bencana alam ada tiga faktor. Banjir kiriman, curah hujan lokal dan air pasang. Sebenarnya fisik semua, sedang untuk pembelajaran klimatologi sifatnya perubahan perilaku untuk mengantisipasi. Kita butuh waktu panjang. Walau pun baru 23 kelompok tani dari ratusan kelompok tani di Indramayu.
Dengan keberhasilan tadi, metode Sekolah Lapangan Iklim mulai dikembangkan pada 13 kecamatan lain yang juga rawan banjir dan kekeringan di Kabupaten Indramayu. Bukan itu saja. Sekolah Lapangan Iklim juga menjadi contoh bagi daerah lain, seperti Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Mereka berbondong-bodong mengadakan studi banding ke Indramayu. Pinjam istilah Didi, petani tak lagi harus pasrah pada perubahan iklim.

0 komentar: